CINTA TANPA MENGHAKIMI
Asna Musharofah, Guru Kelas TK-B
“Jika anak marah atau melakukan kesalahan, tindakan apa yang biasanya kita lakukan?” Dulu saya sering langsung menyudutkan anak, seolah-olah sebagai guru yang maha benar. Tindakan seperti itu, saya rasa dulu terpengaruh oleh pola asuh orang-orang yang ada di sekitar saya. Bahkan, sampai sekarang pun kita masih menemukan didikan jika anak marah sampai menangis dan memberontak, orang tua malah melakukannya lebih dari itu. Seperti membohongi anak kalau ada polisi, orang gila, diancam tidak dibelikan jajan atau mainan. Itu semua dilakukan tujuannya agar si anak cepat diam, tidak menangis sehingga orang tua bisa segera tenang dan tidak risih dengan rengekan anak. Apalagi jika anak marah sampai menangis di depan umum, seperti saat menghadiri acara, di tempat perbelanjaan, kebanyakan orang dewasa langsung mengeluarkan sogokan ampuh yang bisa membikin anak cepat diam.
Banyak dari kita melakukan cara instan agar anak cepat menjadi pribadi yang sesuai seperti apa yang kita harapkan. Tapi, apakah itu dapat menjamin menumbuhkan kesadaran anak untuk kehidupan selanjutnya?. Padahal investasi yang paling lama dan butuh kesabaran adalah pendidikan, karena hasilnya terlihat paling tidak 10-30 tahun ke depan. Setelah merefleksikan pendampingan belajar yang saya lakukan, saya berfikir bahwa sogokan atau menghakimi anak adalah cara yang tidak efektif. Alih-alih menumbuhkan kesadaran, yang terjadi malah dijadikan senjata anak agar semua keinginannya dapat terpenuhi. Menakuti anak dapat menjadikan anak kehilangan kepercayaan dirinya, takut mengungkapkan pendapat, bahkan takut melangkah melakukan cara untuk mencapai ilmu pengetahuannya.
Melakukan perubahan itu tidak mudah, sebagai guru kita harus sabar menerapkan pembiasan-pembiasan yang dapat menumbuhkan kesadaran anak. Hal tersebut dapat kita terapkan saat mengalami peristiwa bersama anak, mengajak anak komunikasi yang efektif sehingga anak tau apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Komunikasi efektif, pemberian umpan balik bisa kita terapkan mulai dari jenjang usia dini. Pengalaman saya selama mengajar di TK-B (usia 5-6 tahun) di Sekolah Islam Umar Harun, Sarang, Rembang, cukup menarik. Jika kita dapat memahami anak, mereka akan terbuka kepada kita karena muncul perasaan aman dan nyaman. Sehingga mereka dapat berbagi cerita tentang peristiwa yang dialami, baik saat di rumah atau di sekolah.
Seperti kejadian suatu hari saat persiapan berdo’a pulang, saya melihat 2 anak yang sedang berselisih hebat, bahkan sesekali sampai saling memukul. Setelah selesai berdoa, teman-teman yang lainnya wudhu dan siap-siap melanjutkan kegiatan shalat jamaah dhuhur. Mas Ubay dan Mas Fahmi masih berselisih, karena Mas Ubay yang lebih terlihat sangat marah. Sikap yang saya lakukan adalah menenangkannya terlebih dahulu, lalu mengajak Mas Ubay untuk bicara berdua. Awalnya Mas Ubay belum bersedia cerita tentang ketidak nyamanannya, wajahnya menunjukkan emosi marah, matanya mengeluarkan air mata, dan tubuhnya ingin memberontak. Sehingga sebisa mungkin saya menahannya dengan pelukan.
Setelah emosionalnya Mas Ubay mulai turun dan tenang, saya mulai memahaminya dengan bercerita kalau guru juga pernah di posisi seperti yang dialami Mas Ubay, merasa marah, perasaan tidak enak di dada, sehingga rasanya sampai ingin marah. Apakah sikap seperti itu bisa menyelesaikan masalah?; yang ada malah merugikan diri sendiri dan melukai orang lain. Beberapa menit kemudian, Mas Ubay siap bercerita. Kalau tadi saat berdoa pulang, temannya yang bernama Mas Fahmi masuk di barisan teman-teman yang membentuk lingkaran tidak bilang permisi/amet. Mas Fahmi langsung menggeser dan mendorong, kemudian menjambak rambutnya Mas Ubay, "Aku ya tidak nyaman, aku ya marah". Ungkap Mas Ubay.
Dari cerita tersebut, saya mengajak Mas Ubay dan Mas Fahmi duduk bersama untuk menyelesaikan masalah. Saat saya konfirmasi dengan Mas Fahmi, awalnya Mas Fahmi mengelak belum siap mengakui kalau melakukan apa yang diceritakan Mas Ubay. Kemudian Mas Ubay bilang "Kamu bohong, aku loh jujur tadi kamu nggeser dan mendorong aku, rambutku dijambak, ya aku sakit dan marah, ayo kamu yang jujur jangan bohong.” Ungkapnya lagi, Mas Ubay ingin agar Mas Fahmi berkata jujur. Kemudian Mas Fahmi bilang kalau tadi dia sudah meminta maaf, tapi Mas Ubay tidak mau memaafkan, malah marah dan memukul. Saya juga mengetahui di awal Mas Fahmi sudah beberapa kali minta maaf, namun Mas Ubay menghindar dan belum siap memaafkan.
Akhirnya Mas Fahmi membenarkan kalau memang dia telah menjambak rambutnya Mas Ubay dan tidak bilang permisi saat duduk. Setelah Mas Fahmi jujur dan mengakui kesalahannya, Mas Fahmi meminta maaf kepada Mas Ubay dan berefleksi kalau ingin masuk lingkaran bergabung dengan teman bilang permisi/amet. Hal yang tidak saya sangka adalah jawaban memaafkan dari Mas Ubay yang cukup mengesankan, dia menjawab “Aku juga minta maaf, karena tadi waktu kamu minta maaf aku menghindar.”Mas Ubay juga berefleksi kalau ada teman yang mau minta maaf jangan menghindar.
Selain itu, yang bikin terkesan juga saat itu yaitu setelah mereka berdua minta maaf dan saya mengizinkan mereka pulang, karena orang tua mereka sudah menunggu penjemputan cukup lama. Mereka berdua saling menunggu membereskan barang. Saat Mas Ubay mengambil sandalnya yang berada di rak sandal terjatuh, Mas Fahmi menatakannya. Saya mengamati dari jendela kelas, mereka tampak saling bergandengan tangan dan tertawa bersama menuju pintu gerbang sekolah. Sungguh, anak-anak itu memiliki jiwa yang mudah sekali memaafkan, terbuka menyelesaikan masalah saat dipahami.
Cukup menarik, seusia anak PAUD meminta maaf dan saling memaafkan disertai alasan, juga berefleksi tentang sikapnya. Ini tentu bukan saat itu saja, guru sudah melakukan pembiasaan-pembiasaan di awal saat mereka sekolah, agar pembiasan baik tetap membangun keberlanjutan sikap anak di masa yang akan datang. Yuk.... tumbuhkan rasa cinta dan memahami anak tanpa mudah menghakimi. J
Ingin tahu lebih banyak tentang karya guru lain, anda bisa membaca dengan klik Di sini
Mau tahu lebih detail tentang Sekolah Islam Umar Harun, anda bisa membuka dan membaca profil Di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar