Sabtu, 30 Maret 2024

KH. Ali Ma'sum Krapyak

 

KH. Ali Ma’sum dilahirkan pada tanggal 2 Maret  1915 di desa Soditan, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. KH. Ali Ma’sum merupakan putra pertama dari KH. Ma’sum bin KH. Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH. Muhammad Zein Lasem. Ayahnya atau yang lebih dikenal dengan panggilan mbah Ma’sum merupakan pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Al-Hidayat yang berdiri sekitar tahun 1917 di desa Soditan, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.

Sejak kecil KH. Ali Ma’sum hidup di lingkungan pesantren. Beliau belajar dan dididik di pesantren ayahnya sendiri yang saat itu menjadi pusat rujukan para santri dari berbagai daerah. Ayahnya berharap KH. Ali Ma’sum menjadi seorang ahli fiqih, sehingga sejak kecil selalu mendapat porsi belajar lebih banyak mengenai ilmu fiqih dibandingkan dengan ilmu lainnya. Namun, KH. Ali Ma’sum lebih menonjol dalam mempelajari ilmu nahwu dan shorof. Jika dilihat dari segi nasab, KH. Ali Ma’sum merupakan keturunan dari Sayyid Abdurrahman yang bernama asli Pangeran Muhammad Syihabuddin Sambu Digdadiningrat atau yang dikenal dengan mbah Sambu.

Pendidikan KH. Ali Ma’sum pertama kali diperoleh dari ayahnya sendiri. Pada usia 10 atau 11 tahun. KH. Ali Ma’sum dititipkan oleh orang tuanya  kepada Kyai Amir di Pekalongan. Setelah menempuh pendidikan di pekalongan, KH. Ali Ma’sum melanjutkan pendidikannya di Termas, Pacitan, Jawa Timur. Di sana beliau berguru kepada Kyai Dimyati dan sejak saat itulah KH. Ali Ma’sum mulai menonjol dalam menguasai ilmu-ilmu agama. Selama menuntut ilmu disana KH. Ali Ma’sum tergolong sebagai remaja yang cerdas. Tidak hanya mempelajari kitab-kitab mu’tabarah saja, melainkan belajar kitab-kitab para pembaharu juga, seperti kitab Tafsīr Al-Manār karya Rasyid Ridlo, kitab Fatāwa karya Ibn Taimiyyah dan masih ada beberapa karya pembaharu yang lainnya. Dengan demikian, tidak heran jika KH. Ali Ma’sum tergolong sebagai santri yang cerdas dan mumpuni dalam memahami kitab-kitab kuning maupun kitab-kitab karya pembaharu.

Dalam masa pendidikannya selama 3 tahun di Termas, KH. Ali Ma’sum sama sekali tidak pernah pulang ke Lasem. Hal itu merupakan wujud semangat beliau dalam menuntut ilmu. Banyak  kitab yang berhasil dikuasai, seperti kitab Fath al-Mu’īn, Tafsīr Jalālain, Alfiyah Ibn Mālik, Minhāj al-Qawīm, Ṣahih Bukhāri dan beberapa kitab yang telah disebutkan di atas. Selain belajar kepada Kyai Dimyati, KH. Ali Ma’sum juga belajar kepada Kyai Masyhud dan Sayyid Hasan Ba’bud. Selain menjadi santri, KH. Ali Ma’sum juga dipercaya untuk mengajar santri-santri junior. Selama di pesantren termas, beliau mendapat julukan “Munjid Berjalan”, sebab kemahirannya dalam menguasai kitab Dahlan, Asymunī, Jauharah al-Maknūn dan Alfiyah Ibn Mālik. KH. Ali Ma’sum belajar di pesantren Termas kurang lebih selama 8 tahun., Mulai dari tahun 1927 sampai tahun 1934.

Selepas belajar di pesantren Termas, KH. Ali Ma’sum kembali ke Lasem dan membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayat. Namun, semangat menuntut ilmunya tetap membara walaupun telah menguasai kitab-kitab besar. Bahkan KH. Ali Ma’sum melanjutkan pendidikannya ke Timur Tengah. Sebelum melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, KH. Ali Ma’sum menikah dengan Ny. Hasyimah binti KH. Munawwir Krapyak pada tahun 1938. Beberapa hari setelah pernikahan, KH. Ali Ma’sum mendapat tawaran dari H. Junaid dari Kauman, Yogyakarta untuk berangkat haji. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya beliau menerima tawaran tersebut karena merupakan salah satu sarana untuk belajar di Mekkah. Dengan berat hati, KH. Ali Ma’sum harus meninggalkan istrinya untuk belajar di sana. KH. Ali Ma’sum berada di Mekkah kurang lebih selama 2 tahun. Selain menunaikan ibadah haji, KH. Ali Ma’sum juga menimba ilmu kepada beberapa syaikh di Mekkah, seperti belajar kitab Luma’ kepada Sayyid Alawy Al-Māliki dan kitab Ṣahih Bukhāri kepada Syaikh Umar Hamdan.

      KH. Ali Ma’sum juga termasuk kyai yang produktif dalam menulis. Karyanya adalah kitab Al-Amtsilah Al-Taṣrifiyyah yang dikenal dengan shorof Krapyak, Fath al-Qodir, Al-Durus Al-Falakiyyah, Badi’at Al-Mitsal, dan Hujjah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Selain itu, KH. Ali Ma’sum juga memiliki kontribusi besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah sebagai penggagas pendidikan madrasi (pendidikan dengan sistem klasikal) yang kemudian hari dikenal dengan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.

      KH. Ali Ma’sum wafat pada hari kamis, 7 Desember 1989 di usia 74 tahun. Beliau menghembuskan nafas terakhir di RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta setelah delapan hari menjalani perawatan di ruang ICU. Jenazahnya dikebumikan bersebelahan dengan makam KH. Munawwir yang berada di Dongkelan, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

 

Baca juga 👉https://bit.ly/BiografiKHMakshumAhmadLasem

 __________________________

Referensi :
[1] Ahmad Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989).

[2] Ahmad Mubarok Yasin, Ensiklopedi Penulis Pesantren Biografi Singkat Para Penulis Pesantren (Mulai Abad 14 hingga 21 Masehi) (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2009)

[3] Ahmad Athoillah, KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU (Yogyakarta: Lkis, 2019)

[4] Nur Khalik Ridwan, Ensiklopedia Khittah NU Jilid IV: Tokoh Pemikiran Khittah NU (Yogyakarta: Diva Press, 2020).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar