Senin, 29 April 2024

KH. Ahmad Dahlan


A.   Biografi KH. Ahmad Dahlan

Muhammad Darwis atau yang lebih dikenal dengan Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Kampung Kauman,Yogyakarta, dari pasangan Kiai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dengan Siti Aminah binti Kyai Haji Ibrahim. KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 tepatnya umur 54 tahun di Yogyakarta, Kasultanan Yogyakarta. Makamnya terletak di Karangkajen Yogyakarta. Beliau memiliki seorang istri bernama Siti Walidah. KH. Ahmad Dahlan adalah seorang Ulama Besar bergelar Pahlawan Nasional Indonesia sekaligus pendiri Muhammadiyah.

       KH. Ahmad Dahlan merupakan keturunan ulama besar yang mengembangkan agama Islam di Pulau Jawa. Sejak kecil sudah terlihat sebagai anak yang cerdas dan kreatif. Beliau mampu mempelajari dan memahami kitab yang diajarkan di pesantren secara mandiri. Beliau dididik secara langsung oleh orang tuanya dalam lingkungan keluarga. Pengetahuan dasar tentang agama dan membaca kitab suci Al-Qur’an menjadi materi pelajaran yang pertama kali dipelajari. Sistem pendidikan di bawah asuhan dan pengawasan orang tua yang dilandasi rasa kasih sayang dan sikap ikhlas, mampu menjadikan KH. Ahmad Dahlan sebagai pribadi yang mampu memahami tehnik membaca dan menulis Al-Qur’an. Terbukti pada usia 8 tahun beliau sudah mampu membaca Al-Qur’an sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. 

       KH. Ahmad Dahlan juga menuntut ilmu-ilmu agama pada ulama lain, sehingga pengetahuannya terus bertambah dan semakin luas. Setelah dinilai cukup menguasai pengetahuan agama, KH. Abu Bakar memerintahkan beliau untuk pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan agama. KH. Ahmad Dahlan berangkat ke Mekah pada tahun 1883. Diantara kitab-kitab yang sering beliau kaji adalah Kitab Tauhid karangan Syekh Mohammad Abduh, Tafsir Juz Ama karangan Syekh Mohammad Abduh, Kanzul Ulum dan Dairotul Ma’arif karangan Farid Wajdi, Fil Bid’ah karangan Ibnu Taimiyah, Tafsir Al Manar karangan Sayid Rasyid Ridha, dan masih banyak lagi. 

        Menjelang kepulangannya dari Mekah, beliau menemui Imam Syafi’i Sayyid Bakri Syatha untuk mengubah nama. Tradisi pada masa itu setiap haji yang akan kembali ke tanah air akan menemui seorang ulama untuk memberikan nama arab yang di depannya ditambah kata Haji sebagai pengganti nama lamanya. Muhammad Darwis mendapatkan nama baru, yaitu Haji Ahmad Dahlan. 

        KH. Ahmad Dahlan belajar ilmu fiqih dan nahwu kepada kakak iparnya, Haji Muhammad Saleh dan Kyai Haji Muhsin, belajar ilmu falak kepada Kiai Raden Haji Dahlan, belajar hadis kepada Kiai Mahfudh dan Syekh Khayyat, belajar qira'ah kepada Syekh Amin dan Bakri Satock, belajar ilmu bisa atau racun binatang kepada Syekh Hasan. Selain itu, beliau juga belajar kepada Kyai Haji Abdul Hamid, Kyai Muhammad Nur, R. Ng. Sosrosugondo, R. Wedana Dwijosewoyo dan Syekh M. Jamil Jambek. Setelah merasa memiliki bekal ilmu yang cukup, Kiai Haji Abu Bakar menugaskan beliau untuk mengajar anak-anak pada siang dan sore hari bertempat di langgar ayahnya. Kegiatan belajar orang dewasa tetap dipimpin oleh Kyai Haji Abu Bakar. KH. Ahmad Dahlan mengikuti kegiatan tersebut dengan tekun. Jika ayahnya berhalangan mengajar, beliau sendiri yang akan menggantikan. Aktivitas inilah yang kemudian mengantarkannya dipanggil sebagai kyai. 

        KH. Ahmad Dahlan tidak hanya memfokuskan kegiatannya untuk dakwah saja, beliau juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Berbekal modal uang 500 gulden dari bapaknya, KH. Dahlan menekuni usaha batik dan perdagangan. Pada 1903 beliau berangkat kembali ke Mekah disertai dengan anaknya Muhammad Siradj yang saat itu masih berumur enam tahun. Mereka menetap selama dua tahun di sana untuk memperdalam pengetahuan agama. KH. Ahmad Dahlan belajar secara langsung dari ulama-ulama ternama di Mekah yang berasal dari Indonesia. Diantara guru-gurunya tersebut tercatat nama Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Machfud dari Tremas, Kiai Muhtaram dari Banyumas, dan Kiai Asy’ari dari Bawean. Selama di Mekah, KH. Ahmad Dahlan juga bersahabat karib dengan Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas Abdullah dari Surabaya dan Kiai Fakih dari Maskumambang. KH. Ahmad Dahlan mempelajari pemikiran-pemikiran pembaharuan agama tidak hanya kepada ulama-ulama yang berada di Timur Tengah, tapi juga belajar kepada Ali Soorkati seorang ulama keturunan Sudan yang sudah lama hidup di Jawa. Pertemuan mereka menghasilkan kesepakatan bahwa KH. Ahmad Dahlan akan mendirikan Muhammadiyah untuk menampung masyarakat bumi putera, sedang Ali Soorkati mendirikan Al-Irsyad untuk mewadahi masyarakat Arab. 

        Pada 1906 KH. Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta disertai dengan tekad dan keyakinan untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran pembaharuan di tanah air. Pendidikan dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mengembangkan gagasannya, karena itu beliau memilih menjadi pengajar untuk masyarakat di Kauman. KH. Ahmad Dahlan juga menjadi pengajar untuk sekolah Kweekschool di Yogyakarta dan OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) sebuah sekolah untuk pegawai bumi putera di Magelang. Pada saat yang bersamaan, sultan juga mengangkatnya menjadi abdi dalem dengan jabatan khatib tetap di Masjid Gede Kauman.

B.   Karya-karyanya

        KH. Ahmad Dahlan tidak banyak meninggalkan karya-karya dalam bentuk tulisan. Beliau lebih mengedapakan sosok praktisi. Prestasi KH. Ahmad Dahlan dalam pembaharuan Islam ditandai dengan keberhasilannya mendirikan perkumpulan Muhammadiyah dan Sarekat Islam pada tahun 1912. Atas perjuangan KH. Ahmad Dahlan dan dukungan dari berbagai pihak, organisasi Muhammdiyah secara resmi didirikan pada 18 November 1912 atau 8 Dzulhijah 1330 H setelah memperoleh izin dari pemerintah.

    Atas besarnya jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran pembaharuan di Indonesia, maka beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1961.

C.   Kontribusi KH. Ahmad Dahlan dalam mengembangkan Hadis di Indonesia

          KH. Ahmad Dahlan selain sebagai tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah, beliau juga berperan aktif dalam dunia pendidikan. Beliau melakukan pembaharuan dalam bidang kurikulum dan metode pendidikan. Pertama, beliau memasukkan mata pelajaran umum ke dalam pendidikan lembaga pendidikan Islam. Kedua, mengajarkan pendidikan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah Belanda. Terobosan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti pada substansi pengajaran. Beliau juga mengangkat citra pendidikan Islam dari yang bersifat non formal menjadi sekolah formal. KH. Ahmad Dahlan telah berhasil meletakkan landasan lahirnya pendidikan modern.  


Baca juga ðŸ‘‰http://bit.ly/BiografiMbahHasyimAyari

____________________________
Referensi :

[1] Nasional, Tim Museum Kebangkitan. K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), (Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

[2] Mujadid, "Mengapa KH Ahmad Dahlan tak Berkarya Tulis?" https://www.republika.id/posts/49339/mengapa-kh-ahmad-dahlan-tak-berkarya-tulis#:~:text=Sang%20pendiri%20Muhammadiyah%20tidak%20mewariskan,dan%20sekaligus%20pahlawan%20nasional%20Indonesia

KH. Maimoen Zubair

 


          Mbah Moen

KH. Maimoen Zubair atau lebih familiar dengan sebutan Mbah Moen dilahirkan di Sarang pada 28 Oktober 1928 M/14 Jumadil Awal 1347 H. Beliau putra pertama dari lima bersaudara dari pasangan Kiai  Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Saudara-saudarinya yaitu, Makmur, Mardiyah, Hasyim, dan Zahro. Semua anak pasangan Kiai Zubair dan Nyai Mahmudah meninggal dunia kecuali Mbah Moen.

Hidup di lingkungan pesantren mengharuskan Mbah Moen untuk mengaji. Meskipun ayahnya, Kiai Zubair bukanlah pengasuh pesantren, namun beliau aktif mengajar di pesantren milik mertuanya, Kiai Ahmad ibn Syuaib. Kepada sang ayah, Mbah Moen mengaji berbagai disiplin ilmu agama seperti al-Fiyah, Fathal Wahhab, Fathal Mu'in, dan Jauharatu al-Tauhid. Untuk masalah bacaan al-Qur'an-nya, Mbah Moen belajar kepada ibunya, Nyai Mahmudah. Selain kepada kedua orang tuanya, Mbah Moen belajar kepada ulama-ulama Sarang seperti Kiai Syuaib ibn Abdurrozak, Kiai Ahmad ibn Syuaib, dan Kiai Imam Khalil.

Dalam mendidik Mbah Moen, Kiai Zubair tidak hanya mengajarkan ilmu agama, akan tetapi ilmu umum pun juga diajarkan. Terlebih ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan nasionalisme dan patriotisme. Sebab, pada waktu itu, Indonesia sedang dalam kondisi dijajah Belanda, Jepang, dan dilanjutkan dengan kembalinya Belanda yang membonceng NICA (Netherland Indies Civil Administration).  Kiai Zubair sendiri merupakan ulama yang tergabung dalam Laskar Hisbullah, yang menggerakkan pasukan di sepanjang Sarang, Lasem, dan Tuban. Kiai Zubair memiliki 100 orang pasukan yang siap digerakkan kapan saja untuk mengusir penjajah. Dididik oleh ayah seorang ulama pejuang, tidak heran jika Mbah Moen memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi.

Pada tahun 1945 M, Kiai Zubair mengutus Mbah Moen untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo asuhan Kiai Abdul Karim. Waktu itu, Mbah Moen berusia 17 tahun, masa pemuda dalam semangat belajar dan berjuang melawan penjajah. Selain belajar kepada Kiai Abdul Karim, Mbah Moen juga belajar kepada Kiai Mahrus Aly, Kiai Marzuki, (keduanya adalah menantu andalan Kiai Abdul Karim) dan Kiai Ma'ruf Kedunglo.

Selama nyantri di Pesantren Lirboyo, Mbah Moen tidak hanya mengaji. Namun, beliau juga ikut berperang dalam memperjuangkan keutuhan NKRI yang sudah berdaulat semenjak 17 Agustus 1945 M. Bersama dengan Kiai Mahrus Aly dan para kiai lainnya yang dikomando dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 M, Mbah Moen ikut berjuang melawan penjajah yang ingin kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan misi Agresi Militer Belanda I (21 Juli - 5 Agustus 1947 M) dan Agresi Militer Belanda II (19-20 Desember 1948 М).

Setelah kondisi Indonesia aman, pada 1949 M. Mbah Moen meminta izin kepada Kiai Abdul Karim untuk meneruskan belajarnya menuju Haramain. Dengan antusiasnya, Kiai Abdul Karim merestui keinginan Mbah Moen tersebut. Maka, berangkatlah beliau menuju Haramain bersama dengan Kiai Abdurrahim ibn Ahmad dengan biaya dari kakeknya, Kiai Ahmad ibn Syuaib.

Selama di Haramain, Mbah Moen belajar di Masjidil Haram dan Madrasah Dar al-Ulum yang merupakan madarasah rintisan ulama Jawiyyin (ulama Nusantara-Melayu di Haramain). Diantara gurunya selama belajar di Haramain adalah, Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh Muhammad Amin al-Kutbi, Syekh Abdul Qodir ibn Abdul Muthalib al-Mindili, Syekh Abdullah bin Nuh al-Kelantangi, Syekh Hasan al-Masysyath, Syekh Yasin al-Fadani, dan Kiai Masykuri Lasem (yang waktu itu menjadi mudir Dar al-Ulum sebelum al-Fadani). Kepada ulama-ulama Haramain ini, Mbah Moen mempelajari berbagai disiplin ilmu agama dengan penuh ketekunan sehingga menjadi ta'ammuq (mendalam). Karena tertarik dengan kealimannya, ada salah satu warga Saudi Arabia yang ingin menjadikan Mbah Moen sebagai menantunya. Namun, tawaran tersebut tidak diterima oleh beliau. Mbah Moen lebih suka kembali ke Indonesia dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya.

Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang

Pada tahun 1952 M, Mbah Moen kembali ke tanah airnya. Setibanya di kampung halaman, beliau segera berkiprah di dunia pendidikan pesantren, mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para santri, khususnya di Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyah. Selain mengajar, beliau juga masih tetap menimba ilmu kepada ayahnya dan beberapa ulama tanah air lainnya, seperti Kiai Baidlowi ibn Abdul Aziz (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Mustofa (Leteh, Rembang), Kiai Abdul Wahab ibn Hasbullah (Tambak Beras, Jombang), Kiai Abdul Wahib ibn K Abdul Wahab (mantan Menteri Agama), Kiai Ma'shum Ahmad (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), Habib Abdullah ibn Abdul Qodir (Malang), dan Habib Ali ibn Ahmad al-Athas.

Di samping tetap belajar memperdalam keilmuan, Mbah Moen juga berkiprah dalam banyak bidang. Beliau pernah menjadi Onder Distrik Militer (ODM) yang kini berubah menjadi Komando Rayon Militer (Koramil) di kecamatan Sarang, pernah juga menjadi kepala Pasar, kepala Tempat Pelelangan Ikan (TPI), anggota DPRD kabupaten Rembang, hingga anggotanya MPR RI utusan Jawa Tengah. Tak heran jika sebagai ulama, Mbah Moen sangat piawai berbaur dan merangkul masyarakat dari semua kalangan.

Seiring waktu, semakin banyak santri yang ingin belajar kepada Mbah Moen. Pada tahun 1964 M, beliau membangun musholla di depan rumah sebagai tempat untuk mengajar para santri. Di sinilah cikal bakal Pondok Pesantren Al-Anwar berdiri. Animo masyarakat untuk berguru dan berkhidmat kepada beliau semakin besar. Oleh karenanya pada tahun 1967 M, beliau mendirikan sebuah kamar sederhana yang terletak di dekat musholla, ditujukan sebagai tempat menginap para santri agar mereka lebih fokus belajar. Oleh para santri, tempat tersebut diberi nama POHAMA yang merupakan singkatan dari 'Pondok Haji Maimoen'. Selang beberapa tahun kemudian, POHAMA dirubah namanya menjadi Pondok Pesantren Al-Anwar. Anwar merupakan nama Kiai Zubair sebelum berangkat menunaikan ibadah haji.

Kontribusi Mbah Moen dalam Dunia Pendidikan

Dalam sebuah ceramahnya, Mbah Moen pernah dawuh, "Alal âqili ayyakūna 'arifan bizamânihî (bagi orang yang dianugerahi akal sehat, hendaknya bijak dalam mensikapi zamannya)." Mbah Moen selalu mengajak santrinya agar tanggap dengan perubahan zaman. Tidak beku dalam berpikir, kolot dan konservatif. la sering memaknai ayat-ayat suci al-Qur'an sesuai dengan konteks zamannya. Untuk memompa semangat santri-santrinya agar inovatif dan kreatif dalam mensikapi perkembangan zaman, Mbah Moen mengarang kitab yang berjudul, al-Ulama al-Mujaddidûn (Ulama Modernis). Pembaharuan yang diharapkan Mbah Moen dalam kitab tersebut tidak seperti tajdid dan kelompok yang baru memahami segelintir ilmu Islam sudah mengaku mujtahid dan mereka mengesampingkan madzhab empat. Akan tetapi, Mbah Moen mengajak untuk menggunakan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh madzhab empat yang kemudian disesuaikan dengan perkembangan zamannya.

Mbah Moen sering bertafakkur terhadap ayat-ayat suci al-Qur'an yang kemudian dicocokkan dengan kejadian alam yang sedang terjadi. Seperti halnya, ketika terjadi Stunami di Aceh, selang beberapa hari, Mbah Moen mengunjungi tempat kejadian perkara. Tidak lama kemudian, beliau mengarang kitab yang berjudul Tsunami fi Biladina Indonesiyya Ahuwa 'Adzâbun am Mushibatun. Dalam kitab ini, Mbah Moen mengkaitkan ayat-ayat al-Qur'an dengan kejadian alam berupa Stunami Aceh.

Selain karya di atas, Mbah Moen juga mempunyai karya tulis yang berjudul;

-     Risalah Mauqufina haula al- Shaumi wal IfthÃ¥r,

-     Maslaku al-Tanassuk al-Makki fi al Ittıshalatı bi al-Sayyid Muhammad bin Alawi,

-     Takmilatu al Maslaku al-Tanassuk al-Makkı,

-     Tarajim Masyayikhi al- Ma'ahid al-Diniyyah bi Sarang al-Qudama',

-     Taqriraratu al- Jauharatu al-Tauhid,

-     Taqriraratu al-Bad'u al-Amâli,

-     al Huyüdhu al-Rabbaniyyah,

-     Manaqib Shahibu al-Hauli al Adhîmi fi Qaryati Sidan al-Sayyid Hamzah ibn Abdullah it Umar Syatha, dan lain-lain.

Ada beberapa karya Mbah Moen yang belum terbukukan dengan baik, masih berupa makhtuthat atau ketikan yang tersimpan dalam sebuah komputer.

Wafatnya Mbah Moen

Dalam beberapa kesempatan, Mbah Moen pernah bercerita tentang leluhurnya yang kebanyakan wafat pada hari Selasa, seperti kedua orang tuanya, Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah, kakeknya, Kiai Ahmad Syuaib, dan beberapa leluhurnya yang lain. Menurut cerita Kiai Ahmad ibn Syuaib kepada Mbah Moen, bukan hanya kiai-kiai Nusantara yang banyak wafat di hari Selasa, namun banyak ulama Haramain yang wafat di hari tersebut. Pada hari Selasa, Allah subhanahu wa ta'ala menciptakan gunung-gunung sebagai penyangga atau pencegah gempa bumi, seperti halnya para ulama yang menjaga agama Allah. Melalui jasa mereka kiamat tidak akan kunjung datang selagi masih ada orang yang menyembah kepada Allah. Semua tidak dapat dilepaskan dari jasa para ulama yang merupakan pewaris para Nabi.

Mbah Moen ingin sekali meniru jejak leluhurnya yang kebanyakan wafat pada hari Selasa. Jika hari Selasa tiba, beliau mempunyai doa khusus. Seandainya Allah memanggil, maka beliau ingin meninggal dalam keadaan husnul khatimah yang menjadi harapan satu-satunya. Selain itu, beliau juga ingin wafat bersandingan dengan guru-gurunya yang kebanyakan dimakamkan di Ma'la, seperti Sayyid Alawi al-Maliki, Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Syaikh Yasin ibn Isa al- Fadani, Syekh Muhammad Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Kutbi, dan Syekh Abdul Qadir ibn Abdul Muthalib al-Mindili. Di pemakaman Ma'la pula, telah disemayamkan jasad wanita paling mulia, Ummul Mukminin, Sayyidah Khadijah al-Kubra, serta banyak ulama Nusantara yang menjadi pengajar di Masjidil Haram seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Termasi, Syekh Muhaimin al-Lasemi, Sayyid Muhsin al-Musawa, dan Syekh Abdullah al-Termasi yang disemayamkan di sana.

Harapan Mbah Moen dikabulkan Allah subhanahu wa ta'ala. Saat menunaikan haji untuk yang ke sekian kalinya, Allah telah memanggil kekasih-Nya tersebut sesuai dengan cita-citanya. Wafat di hari Selasa dan dimakamkan di Ma'la yang bersanding dengan orang- orang yang sangat dihormatinya. Mbah Moen kembali ke Rahmatullah pada hari Selasa Pon tanggal 5 Dzulhijjah 1440 H yang bertepatan dengan 6 Agustus 2019 М. Sebelum disemayamkan di Ma'la, jenazahnya dishalatkan dalam beberapa gelombang, yang puncaknya dishalatkan di Masjidil Haram dengan dihadiri ribuan manusia dari penjuru dunia. Semoga kita semua dikumpulkan bersama dengan Mbah Moen kelak di surga-Nya. Amin yâ Rabbal 'Alamin.


Baca juga ðŸ‘‰http://bit.ly/BiografiQuraishShihab

____________________________
Referensi :

[1] Ulum, Amirul.  KH. Maimoen Zubair Membuka Cakrawala Keilmuan

[2] Yasin Maimoen, Taj. 'Dari ODM, Kepala Pasar, hingga Pesantren', dalam buku Belajar Kehidupan dari Mbah Moen. Cet. 1. (Suara Merdeka, 2019).

[3] Ulum, Amirul. Syaikhuna wa Usrotuhu. Cet. 2. (Rembang : Lembaga Pendidikan Muhadloroh PP. Al-Anwar, 2014).


Kamis, 25 April 2024

Syaikhona Kholil Bangkalan


            Beliau memiliki nama lengkap KH. Kholil. Beliau lahir di  desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur, pada hari Selasa 11 Jumadil Akhir atau 27 Januari 1820 Masehi. Adapun wafatnya tercatat pada tanggal 29 Ramadan 1343 Hijriyah atau sekitar tahun 1925 Masehi.

Pada tahun 1850 Syaikhona Kholil mengaji di pesantren Langitan dengan Kiai Muhammad Nur. Selain itu, beliau juga belajar di Sidogiri yang berjarak 7 km dari Keboncandi. Bahkan beliau juga pernah bekerja sekaligus belajar di Banyuwangi.

Setelah menikah dan mempunyai anak, Syaikhona Kholil menuntut ilmu ke Mekah yang memang sudah menjadi cita-cita sejak lama. Selama belajar di Mekah, beliau lebih berguru dengan kiai yang bermazhab Syafi'i. Setelah melakukan perjalanan mencari ilmu, sepulang dari Mekah, Syaikhona Kholil mendirikan pondok pesantren. Tercatat, santri pertamanya yaitu KH. Hasyim Asy'ari.

Syaikhona Kholil juga memiliki beberapa karya, diantaranya Kitab Silah fi Bayanin Nikah, Kitab Terjemah Alfiyah, Shalawat Kiai Kholil Bangkalan, dan kumpulan wirid Kiai Kholil Bangkalan. Selain itu, beliau juga berkontribusi mempersiapkan santri-santrinya untuk bisa memiliki kesiapan menghadapi penjajah melalui pendidikan yang diajarkan di pondok pesantren miliknya. Syaikhona Kholil turut serta memperjuangkan melawan penjajah Belanda.


Baca juga ðŸ‘‰https://bit.ly/BiografiBuyaHamka

____________________________
Referensi :

[1] Adib, Izul. Dkk. Bunga Rampai Biografi MENELISIK KISAH ULAMA NUSANTARA, (Semarang : SINT Publishing, 2018). 

[2] Syafaah, Aah. "Menelusuri Jejak Dan Kiprah Kiai Kholil Al-Bangkalani", Tamaddun, Vol. 5, No. 1 (Januari – Juni 2017).

KH. Ma’shum Ahmad Lasem

 

A. Biografi KH. Ma’shum Ahmad Lasem

Nama asli KH. Ma’shum Lasem adalah Muhammadun (pemberian dari orang tuanya) yang lahir pada sekitar 1290 H atau 1870 M. Tahun kelahiran tersebut masih diperkirakan karena tidak ada yang mengetahui secara pasti tahun berapa beliau dilahirkan. Beliau adalah seorang ulama besar yang sejak masa mudanya sangat anti pada kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Oleh karena itu, segala yang berbau Belanda dan Jepang ditentang oleh beliau. KH. Ma’shum Ahmad memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan belajar dari beberapa guru, baik di Nusantara maupun Mekah.

KH. Ma’shum adalah putra ketiga dari pasangan Mbah Ahmad dan Nyai Qasimah. Ayah beliau berprofesi sebagai pedagang yang cukup sukses dan juga termasuk seorang yang mempunyai bekal ilmu agama yang cukup. Pasangan Mbah Ahmad dan Nyai Qasimah dikaruniai tiga orang anak, dua di antaranya perempuan dan satu laki-laki, yaitu Nyai Zainab, Nyai Malicha dan Muhammadun (KH. Ma’shum Lasem). Dari jalur ayahnya, beliau masih mempunyai jalur keturunan dengan Sultan Minangkabau hingga sampai kepada Rasulallah.

B. Mendirikan Pesantren

KH. Ma’shum Ahmad adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem. Berawal dari mimpi, seperti disampaikan beberapa sumber (KH. Abdullah Faqih, H. Nasir Nawawi, serta H. Abrori Akwan (Lampung) yang meriwayatkan langsung dari KH. Ma’shum). KH. Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, dan mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan dan berganti mengajar. Mimpinya bertemu dengan Kanjeng Nabi itu terjadi selama beberapa kali. Hal tersebut berlangsung seolah terjadi dialog yang berkesinambungan, dalam rentang waktu yang panjang antara dirinya dengan Rasulullah. Setelah beberapa kali bermimpi, KH. Ma’shum bertanta-tanya :

1. Kalau saya mendirikan pesantren, lalu bagaimana saya mencari makan?

2. Kalau saya mendirikan pesantren, lalu bagaimana dengan pesantren Kiai Kholil (Pendiri dan Pengasuh pesantren An-Nur) yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah saya? Apakah pesantren yang saya dirikan itu bisa diminati orang, toh didekat saya telah ada Kiai Kholil?

3. Kalau saya membuat pesantren, uang pembangunan dari mana?

4. Kalau saya telah mendirikan pesantren, yang saya ajarkan kepada para santri nanti kitab apa?

Melalui mimpi, Rasulullah masih menegaskan supaya beliau segera berhenti berdagang dan segera mengajar. Rasulullah juga “menjawab” kegelisahan beliau bahwa urusan makan, Allah yang telah, akan, dan senantiasa menjamin, Sedangkan urusan dana pembangunan, kamu (KH. Ma’shum) bisa meminta bantuan kepada orang lain sebagai salah satu upaya. Mengenai kegelisahan tentang kitab apa yang diajarkan kepada para santri nanti, dalam sebuah mimpi yang lain Rasulullah berpesan bahwa beliau dipersilahkan mengajarkan kitab apa saja, yang penting hal itu berurusan tentang keagamaan.

Pertama kali mendirikan pesantren yang dilakukan KH. Ma’shum adalah sebagaimana kebanyakan pesantren pada umumnya, yaitu memulai dengan memberikan pelajaran-pelajaran dengan mengambil tempat di musala yang telah ada di ndalem. Tidak ada informasi yang valid tentang siapa kali pertama yang membangun musala di ndalem tersebut, apakah KH. Ma’shum sendiri atau warisan dari orang tuanya. Bangunan musala tersebut masih berdiri tegak hingga sekarang, terdiri dari dua lantai; pertama berfungsi sebagai mushala dan tempat pengajian, sedangkan lantai kedua yang terbuat dari kayu difungsikan sebagai kamar para santri.

C. Kiprah Aktif KH. Ma’shum Ahmad Lasem

Ketika Nahdlatul Ulama (NU) dideklarasikan pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M, KH. Ma’shum bersama KH. Kholil Masyhuri mewakili daerah Lasem untuk menghadiri peresmian organisasi keagamaa, tepatnya di Jalan Bubutan VI Surabaya. Menurut keterangan cucunya yaitu KH. Zaim Ahmad bahwa KH. Ma’shum merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau aktif di organisasi bersama KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab dan KH. Kholil. Kiprah beliau pasca berdirinya NU adalah dengan mendirikan cabang-cabang NU seperti di Lasem yang menjadi cabang NU ke 11.

D. Wafatnya KH. Ma’shum Ahmad Lasem

Sejak 14 Rabiul Awal 1392 H/ 28 April 1972, tepatnya jam 2 siang kesehatan KH. Ma’shum turun drastis. Hal tersebut terjadi selama beberapa bulan, tepatnya hingga September. Dan pada akhirnya 17 September 1972, KH. Ma’shum dirujuk ke rumah sakit dr. Karyadi Semarang. Selama 10 hari, beliau dirawat di rumah sakit tersebut di bawah pengawasan dr. Soetomo, dr. Harjono (seorang ahli penyakit dalam) dan dr. Chamidun.

Hampir satu bulan setelah beliau keluar dari rumah sakit, tepat di umur 102 tahun, dalam keadaan tenang pada Jum’at pukul 14.00, 12 Ramadhan 1392 M bertepatan dengan 20 Oktober 1972 H beliau wafat. Kemudian dikebumikan di komplek pemakaman Masjid Jami’ Lasem Rembang pada Sabtu 13 Ramadhan pukul 15.00. Meluapnya jumlah para peziarah yang datang untuk bertakziyah membuat prosesi salat jenazah dilakukan berulang-ulang.

Baca juga 👉http://bit.ly/BiografiKHalimaksumKrapyak

____________________________
Referensi :

[1] Luthfi Thomafi,  M. The Authorized Bioghraphy of KH. Ma’shum Ahmad (Mbah Ma’shum Lasem), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007).

[2] Chaidar, Sayyid.  Manaqib Mbah Ma’shum, (Yogyakarta: Pondok Mas, 2013).

[3] Izzati, Afina. Mbah Ma’shum Lasem, Ulama Karismatik Yang Terlupakan. https://ulamanusantaracenter.com

[4] Azmi, M. Shofa Ulul. Ayam Jago dari Tanah Jawa (KH. Ma’shum Lasem). https://www.suaramerdeka.com/nasional/pr-04111784/kh-mashum-lasem-ayam-jago-dari-tanah-jawa

[5] Bastomi, Hasan. "Pendidikan Pesantren dalam Pandangan KH. Ma’shum Ahmad Lasem",  INSANIA Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikanvol. 24 no. 2 (2019).

Buya Hamka

Buya Hamka merupakan tokoh pendidikan Islam yang konsep pemikirannya sangat monumental dan spektakuler di berbagai kalangan. Beliau seorang ulama pujangga, pencetus, pemuka Islam, pejuang, wartawan, sastrawan dan budayawan. Beliau mengembangkan pemikirannya di berbagai bidang. Nama aslinya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah biasa disebut dengan Hamka yang merupakan singkatan dari nama panjang beliau. Buya Hamka lahir di Sumatera Barat pada tanggal 16 Februari 1908 M atau 13 Muharrom 1326 H.

Sejak kecil beliau menerima dasar-dasar agama dari sang ayah. Pada usia 6 tahun dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Kemudian pada usia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa. Setiap malamnya belajar mengaji al-Qur’an sampai khatam. Waktu itu pelaksanaan pendidikan masih bersifat tradisional, berupa pengajaran kitab-kitab klasik seperti nahwu, shorof, mantiq dan lain-lain menggunakan sistem hafalan. Ayahnya mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Pada usia 16 tahun Buya Hamka merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto dan KH Fahrudin. Pada usia 30 an, Buya Hamka tak langsung memilih menjadi ulama meski beliau sendiri termasuk muballigh muda Muhammadiyah di kota Medan.

Buya Hamka terkenal sebagai pemikir modern muslim. Beliau juga merupakan seorang penulis yang memiliki banyak karya, baik terkait aqidah, tasawuf, filsafat, tafsir maupun lainnya. Tercatat ada sebanyak 94 karya yang ditulisnya. Beberapa karyanya yaitu buku berjudul Kenang-Kenangan Hidup yang terdiri dari 4 jilid, Khatib al-Ummah terdiri dari 3 jilid, Revolusi Agama, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Islam dan Kebatinan, Filsafat Ketuhanan, dan lain sebagainya. Buya Hamka juga menulis Tafsir al-Azhar yaitu tafsir al-Qur`an yang terdiri dari juz 1 hingga juz 30.

Selain mempunyai beberapa karya fenomenal, Buya Hamka juga mempunyai banyak kontribusi bagi Indonesia, diantaranya :

A.    Kontribusi Dalam Bidang Keagamaan

Gelar Buya yang disematkan pada pangkal nama beliau merupakan panggilan khas untuk menyebut “Kiai di Minangkabau”. Beliau mewarisi darah ulama’ dan pejuang di Minangkabau serta menjdi tokoh utama gerakan pembaruan yang membawa reformasi Islam bagi kaum muda. Salah satu kontribusinya dalam agama Islam adalah karya-karyanya yang sampai saat ini digunakan sebagai rujukan penting dalam studi Islam.

B.    Kontribusi Dalam Bidang Sastra

Buya Hamka telah memberikan kontribusi yang besar dalam bidang sastra. Melalui tulisannya, beliau berhasil menghasilkan banyak karya, diantaranya ilmu agama, sastra, filsafat, tasawuf, politik, sejarah dan kebudayaan. Hingga saat ini, karyanya masih dikontribusikan dalam pembuatan film. Sebut saja beberapa buku yang difilmkan seperti Tenggelamnya Kapal Vanderwijck dan Di Bawah Lindungan ka’bah.

C.    Kontribusi Dalam Bidang Pendidikan

Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Azyumardi Azra, memiliki pandangan yang sangat menghargai peran sekolah Islam Al-Azhar yang didirikan oleh Buya Hamka pada tahun 1961 sebagai titik awal perubahan sekolah Islam menuju kemajuan yang signifikan. Menurut Prof. Azyumardi Azra, sebelum hadirnya Al-Azhar, sekolah-sekolah Islam di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam meningkatkan kualitas dan daya tariknya. Al-Azhar sendiri membuka cabang di berbagai kota dengan cakupan pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga menengah. Beberapa diantaranya adalah cabang Al-Azhar yang memisahkan diri dan mendirikan sekolah mandiri seperti Al-Izhar, Madania (Parung), As-Salam (Solo), SMU Insan Cendekia (Serpong dan Gorontalo), SMU Athiroh (Makassar), Internat Al-Kautsar (Sukabumi), dan masih banyak lagi.

Baca juga 👉http://bit.ly/BiografiSyekhNawawialBantani
____________________________
Referensi :
[1] Ibnu Ahmad al-Fathoni, Biografi Tokoh Pendidik Dan Revolusi Melayu Buya Hamka, (Arqom Ratani, 2015).

[2] Buya Hamka, Memberi Kontribusi Besar dalam Sastra dan Keagamaanhttps://fadami.indozone.id/news/amp/441346757/buya-hamka-memberi-kontribusi-besar-dalam-sastra-dan-keagamaan