Senin, 26 Oktober 2020

MEMAHAMI KEBUTUHAN ANAK UNTUK LITERASI BERMAKNA


MEMAHAMI KEBUTUHAN ANAK UNTUK LITERASI BERMAKNA

Oleh : Juhaini’ah – Fasilitator Kelas KB A

 

"Siapakah Aku?"

"Aku berjalan sangat lambat. Aku membawa rumahku kemanapun aku pergi. Siapakah Aku?"

Ungkapku saat membacakan buku cerita tipis berbetuk bantal kepada Mas Haidar (usia ± 2 tahun, kelas KB A Sekolah Islam Umar Harun).

"Kura-kura..." Jawab mas Haidar sambil membuka bukunya. Memastikan apakah jawabannya benar atau salah.

"Mau lanjut lagi mas Haidar?" tanyaku.

"Mau..." Jawab mas Haidar sambil menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Aku suka berenang. Kakiku berselaput. Kwek.. kwek... kwek... Siapakah Aku?" Lanjutku membacakan ceritanya.

"Bebek...." Jawab mas Haidar lagi.

"Aku suka bergelantungan dipohon-pohon. Aku suka makan pisang. Uu...aa...uu...aa... Siapakah Aku?"

"Monyet...."

Hingga selesai membacakan bukunya sambil bermain tebak-tebakan hewan tadi, Mas Haidar terlihat sangat antusias mendengarkan. Bahkan sambil senyum-senyum saat tahu jawabannya benar.

Sebelumnya, saya sempat mendengar cerita dari orangtua Mas Haidar, kalau Mas Haidar belum begitu tertarik dengan buku. Bahkan melihat gambar di buku pun juga belum tertarik. Dia lebih suka main HP.

Di sini ibunya Mas Haidar berefleksi. Kenapa Mas Haidar sampai belum tertarik dengan buku?. Ya, karena ibunya merasa kurang memfasilitasi anak dengan buku. Ketika hendak tidur, sebetulnya Mas Haidar juga dibacakan cerita oleh orangtuanya. Namun, hanya sekedar karangan-karangan cerita yang dibuat orangtuanya sendiri. Belum pernah bercerita menggunakan buku. Sehingga sang anak belum tertarik dengan buku.

Di dalam salah satu program kami di kelas KB A, ada kegiatan "Book time". Ya, kegiatan yang membiasakan anak untuk membaca buku cerita atau medengarkan cerita. Dengan 'Tujuan Belajar' membantu mengembangkan 'Indikator Kognisi Anak' yaitu ; "Anak Menunjukkan ketertarikan pada buku, seperti: melihat gambar di buku".

Akhirnya, kami mengajak orangtua untuk mengenalkan anak dengan buku cerita. Orangtua di rumah bisa membiasakan membacakan buku cerita kepada anak setiap hendak tidur. Hal tersebut sudah tertulis dibuku panduan orang tua untuk kegiatan di rumah/PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).

Dengan adanya program tersebut, Alhamdulillah orangtuanya Mas Haidar antusias dan ingin sekali mengenalkan Mas Haidar dengan buku-buku cerita. Karena di rumah kurang begitu ada buku cerita anak-anak, akhirnya sang ibu berusaha meminjamkan buku cerita di Perpustakaan Umar Harun. Dan bersyukur sekali, di Perpustakaan tempat sekolah Mas Haidar, memfasilitasi orangtua untuk peminjaman buku.

Saat meminjam buku, orangtua tidak meminjam sendiri. Orangtua tersebut mengajak anaknya, yaitu mas Haidar untuk memilih buku sesuai kesukaannya. Alhamdulillah, setelah anak dilibatkan sendiri dalam memilih buku (sesuai kesukaan), Mas Haidar di rumah mulai tertarik dengan buku dan mau melihat gambar-gambar di buku sambil menunjuknya. Mas Haidar juga mulai suka bertanya-tanya tentang gambar yang ada dibuku sambil menyebutkannya.

Hal tersebut terbukti saat di sekolah. Saat Mas Haidar dibacakan buku cerita, buku bantal, Mas Haidar siap mendengarkan dan antusis melihat gambar-gambarnya. Seperti ceritaku di awal.

Eits, proses seperti tersebut tidak sebentar ya. Prosesnya, lumayan lama. Menurut observasiku, anak yang belum begitu tertarik dengan buku, jika dibacakan buku cerita panjang akan mudah bosan. Apalagi kalau tidak sesuai kesukaannya.

Jadi menurutku, untuk pertama kali kita mengenalkan atau membacakan buku cerita kepada anak yang belum begitu tertarik dengan buku, apalagi diusia ± 2 tahun, alangkah baiknya, dibacakan buku cerita tipis, simpel, dengan gambar yang menarik dan sesuai dengan kesukaan anak.

Alhasil, jika anak sudah mulai terbiasa mendengar dan melihat buku cerita, anak akan makin tertarik dengan buku-buku yang lainnya juga. Aku pun sebagai orang dewasa juga seperti itu. Aku akan mulai belajar suka baca buku yang sesuai genreku dan memilih buku yang tipis dulu. Cerita dan tulisannya juga cenderung lebih pendek. Hehe....

 

Salam Literasi. J

Sabtu, 24 Oktober 2020

THE POWER OF “KESEPAKATAN”


THE POWER OF “KESEPAKATAN”

Oleh : Mir’atul Af’idah - Wali Kelas 1 SD


    Sejak bulan September, sekolah kami ada jadwal tatap muka di sekolah setiap satu minggu sekali. Setiap kelas dibagi menjadi dua kelompok, untuk meminimalisir kerumunan.

    Hari itu teman-teman kelompok pertama masuk tatap muka di sekolah. Seperti biasa, mereka sangat ceria dan ekspresif. Melepas rindu belajar di sekolah dan mungkin kejenuhan terlalu lama di rumah. Kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Saat jam kegiatan, tiba-tiba Mbak Aida dan Mbak Aira meminta izin untuk bermain di Playground. Akhirnya kami mencoba untuk mengajak mereka ngobrol, mengajak berpikir logis dan kritis.

    "Sekarang kan waktunya kegiatan, gimana kalau bermain di playgroundnya nanti saat jam istirahat ?", jelas kami mencoba memberi pengertian.

    Mereka terlihat mencerna apa yang kami katakan. Tapi, ternyata mereka masih mencoba bernegosiasi. "Kami pengennya main sekarang, Bu", sahut mereka.

    Akhirnya kami membuat kesepakatan bersama. "Oke deh, boleh bermain di playground sekarang. Tapi kan kita masih ada kegiatan nih yang harus dilakukan, jadi solusinya bagaimana donk?", Saya mencoba mengajak mereka berpikir logis dan mencari solusi.

   "Bagaimana kalo kita mainnya 5 menit aja, Bu ? Boleh ?", mereka mencoba menawarkan solusi dan idenya. Akhirnya kami menyepakati itu.

   Mereka berlari menuju Playground dan bermain. Di tengah-tengah asyik bermain, mereka bertanya pada guru yang ditemui di dekat playground. "Bu, sekarang jam berapa ? Sudah berapa menit ?". Guru yang ditanya agak bingung.

   "Lah emang tadi bermainnya mulai jam berapa ? Sepertinya sudah 5 menit Mbak. Emang kenapa toh ?".

    Mereka mencoba menjelaskan, "Kita tadi kesepakatanya bermain 5 menit, jadi sekarang harus kembali ke kelas." Akhirnya mereka pun bergegas kembali ke kelas dengan ceria dan sudah lebih siap untuk belajar. Betapa bahagianya menjadi anak-anak ketika orang dewasa mau memahami mereka.

BELAJAR MENGELOLA EMOSI MULAI DARI DIRI SENDIRI

 


BELAJAR MENGELOLA EMOSI MULAI DARI DIRI SENDIRI

Oleh : Nadia Jirjis - Wali Murid dari Afaf (4 SD) dan Aida (1 SD)


       "Brakkk,...."

    Tiba-tiba terdengar si kakak menggebrak meja komputernya. Sepertinya dia merasa gemas menghadapi tantangan gamenya. Ini bukan pertama kali dia bersikap ekspresif seperti ini saat main game. Bahkan kadang seperti marah-marah sesaat, dan kemudian selesai. Tentu sebagai ibu, aku khawatir melihat hal ini. Sering secara spontan aku langsung meresponnya dengan bertanya pelan namun jelas terdengar nada mengingatkan "Ada apa kaaak..". Dia pun menjawab pelan dengan nada jengah seperti tidak ingin diingatkan "Iyaaaah..."

    Setelah main game, kakak masuk ke kamarku. Dari ekspresinya, sebenarnya aku tau kalau dia seperti tidak ingin membicarakannya lagi. Tapi perasaan khawatirku dan keinginanku untuk menasehatinya lebih dominan. Akhirnya, pelan kuajak dia ngobrol merefleksikan peristiwa tadi. Benar saja, dia hanya menjawab "Iyaaa.. Iyaaa..".

    Karena gemas melihat responnya dan ingin segera menyelesaikan persoalan, aku langsung bertanya "Kakak merasa nggak kalau itu salah dan ga baik?". Kakak pun menjawab "Enggak". Kaget mendengar jawabannya, aku pun kembali bertanya "Loh.. Kok bisa? Menurut kakak itu nggak masalah ya..?". Dia kembali menjawab "Enggak.. Ya itu biasa aja, aku ga marah sama siapa-siapa, mah.. Aku marah sama diri sendiri. Ya malah nggak enak kalau ga dikeluarkan emosinya, mah.. ".

    Jujur, aku kaget terhenyak mendengar jawabannya. Tapi tetap saja aku berusaha menasehatinya "Tapi mamah takut kak.. Emosi bisa dikelola dengan lebih baik, kok kak.. Nggak harus dengan marah-marah dan menggebrak meja". Kakak diam dengan raut wajah tidak setuju. Tak lama, terdengar suara adzan dari luar, kakak pun beranjak sambil bilang pelan "Iyaaaa...". Dari raut wajahnya aku tau, dia masih meyakini alasannya dan belum bisa menerima masukanku. Akupun makin khawatir dan cemas.

   Tiba-tiba Baba masuk kamar, segera kuceritakan kejadian ini. Lengkap dengan kekhawatiran dan kecemasanku. Dengan santai Baba menanggapi "Nggak apa apa.. Lama-lama dia akan belajar juga, belajar dari sekelilingnya". Aku terdiam mendengar jawaban santai Baba. Setengah mengiyakan, setengah berpikir "Sepertinya, sebaiknya aku yang memulai lebih dulu untuk belajar mengelola emosi, deh.." Yah.. Walau masih saja ada rasa khawatir, tapi setidaknya ada lebih banyak lagi harapan baik yang memenuhi hati saat ini. Semoga..