Minggu, 06 Maret 2022

TEMU PENDIDIK SEKOLAH ; PENDAMPINGAN BELAJAR UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS




Senin, 28 Februari 2022 guru Sekolah Islam Umar Harun kembali melakukan aktivitas rutinan, yaitu TPS (Temu Pendidik Sekolah). Pelaksanaan kegiatan ini dilatar belakangi oleh kebutuhan belajar guru-guru. Banyak hal yang menjadi kebutuhan belajar guru, salah satunya adalah tentang bagaimana melakukan pendampingan anak berkebutuhan khusus. Topik ini yang kemudian diangkat dalam pembahasan TPS. 


Ada yang spesial di pertemuan TPS kali ini. TPS ini dilakukan secara daring dengan mendatangkan narasumber dari salah satu penggerak KGBN Binjai, Ibu Lisza Megasari. Ibu Lisza Megasari juga merupakan guru di SLB Negeri Binjai. Diskusi dimulai dengan percakapan perkenalan yang dipimpin oleh Ibu Siti Choridah, guru SD Islam Umar Harun. 



Diikuti oleh lebih 25 peserta dari guru Sekolah Islam Umar Harun dan beberapa dari anggota KGBN Rembang, diskusi berjalan cukup efektif. Sebelum pelaksanaan TPS, pendataan pertanyaan untuk pemantik diskusi dilakukan. Sehingga, saat diskusi berlangsung narasumber yang biasa disapa dengan bu Ega ini memberikan pemaparan seputar ragam ABK, kemampuan dan kebiasaan ABK, bahasa isyarat yang dilakukan ABK, peran guru saat mendampingi ABK, dan tips membangun hubungan dengan orang tua ABK. 



Pembahasan tentang ABK atau biasa disebut dengan disabilitas juga dipaparkan dalam UU No. 8 Tahun 2016. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensori motorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. 



Mengutip referensi tersebut, kemudian bu Ega juga menjelaskan ragam disabilitas yang sebelumnya belum kami ketahui sepenuhnya. Disabilitas sendiri ada pengelompokan, diantaranya disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, disabilitas sensorik, dan disabilitas ganda/multi. Dari tiap macam disabilitas tersebut juga memiliki variasi yang berbeda-beda pula. Contoh saja disabilitas fisik, salah satunya individu yang netra (buta). Individu buta ada yang mengalami buta total, ada juga yang bisa membedakan gelap dan terang. Dan individu seperti ini, perlu penanganan yang berbeda. Kekuatan melakukan observasi dan komunikasi bersama orang terdekat termasuk kunci penting yang perlu dilakukan untuk menstimulasi perkembangannya. 



Hal menarik yang juga disampaikan oleh bu Ega adalah penyebutan penyandang disabilitas. Pada umumnya, penyebutan kata "Tuna" sering terdengar di kalangan umum. Namun, ternyata dalam kasus ini komunitas disabilitas sendiri mengaku lebih nyaman disebut dengan tuli dari pada tuna rungu. Kemudian, dalam proses interaksi sosial yaitu saat melakukan pengenalan, sebaiknya tidak menggunakan kata "Ini anak normal dan ini anak tuli", namun dapat menggunakan kata "Ini anak yang tuli, ini anak yang dengar". Hal ini menunjukkan bahwa kita perlu untuk saling menjaga dan menghargai. 


Di akhir sesi TPS ini, peserta diberikan kesempatan untuk menyampaikan wawasan yang didapat dan rencana aksi yang akan dilakukan. Ada dua peserta yang memberikan pendapatnya. Peserta pertama, menyebutkan bahwa peran guru saat mendampingi ABK adalah berkembang bersama anak. Guru dapat belajar dari apa yang dilakukan oleh anak. Sedangkan peserta kedua menyampaikan kesannya bahwa merasa senang dengan kegiatan TPS ini. Dari diskusi ini, pemahaman tentang ABK lebih tertsruktur dibanding dengan pemahaman awal sebelum mengikuti sesi belajar ini. 


Setelah acara ditutup, peserta juga dibekali materi diskusi oleh bu Ega untuk dipelajari kembali. Selain itu, bu Ega juga menawarkan untuk melakukan pertemuan kedua untuk membahas praktik penanganan ABK dan membuat rancangan pembelajaran ABK.