Mbah Moen
KH. Maimoen Zubair atau lebih familiar dengan sebutan
Mbah Moen dilahirkan di Sarang pada 28 Oktober 1928 M/14 Jumadil Awal 1347 H.
Beliau putra pertama dari lima bersaudara dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah.
Saudara-saudarinya yaitu, Makmur, Mardiyah, Hasyim, dan Zahro. Semua anak
pasangan Kiai Zubair dan Nyai Mahmudah meninggal dunia kecuali Mbah Moen.
Hidup di lingkungan pesantren mengharuskan Mbah Moen
untuk mengaji. Meskipun ayahnya, Kiai Zubair bukanlah pengasuh pesantren, namun
beliau aktif mengajar di pesantren milik mertuanya, Kiai Ahmad ibn Syuaib.
Kepada sang ayah, Mbah Moen mengaji berbagai disiplin ilmu agama seperti al-Fiyah, Fathal Wahhab, Fathal Mu'in, dan
Jauharatu al-Tauhid. Untuk masalah bacaan al-Qur'an-nya, Mbah Moen belajar
kepada ibunya, Nyai Mahmudah. Selain kepada kedua orang tuanya, Mbah Moen
belajar kepada ulama-ulama Sarang seperti Kiai Syuaib ibn Abdurrozak, Kiai
Ahmad ibn Syuaib, dan Kiai Imam Khalil.
Dalam mendidik Mbah Moen, Kiai Zubair tidak hanya
mengajarkan ilmu agama, akan tetapi ilmu umum pun juga diajarkan. Terlebih
ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan nasionalisme dan patriotisme. Sebab, pada
waktu itu, Indonesia sedang dalam kondisi dijajah Belanda, Jepang, dan
dilanjutkan dengan kembalinya Belanda yang membonceng NICA (Netherland Indies
Civil Administration). Kiai Zubair
sendiri merupakan ulama yang tergabung dalam Laskar Hisbullah, yang
menggerakkan pasukan di sepanjang Sarang, Lasem, dan Tuban. Kiai Zubair memiliki
100 orang pasukan yang siap digerakkan kapan saja untuk mengusir penjajah. Dididik oleh ayah seorang
ulama pejuang, tidak heran jika Mbah Moen memiliki jiwa nasionalisme dan
patriotisme yang tinggi.
Pada tahun 1945 M, Kiai Zubair mengutus Mbah Moen
untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo asuhan Kiai Abdul Karim.
Waktu itu, Mbah Moen berusia 17 tahun, masa pemuda dalam semangat belajar dan
berjuang melawan penjajah. Selain belajar kepada Kiai Abdul Karim, Mbah Moen
juga belajar kepada Kiai Mahrus Aly, Kiai Marzuki, (keduanya adalah menantu
andalan Kiai Abdul Karim) dan Kiai Ma'ruf Kedunglo.
Selama nyantri di Pesantren Lirboyo, Mbah Moen tidak
hanya mengaji. Namun, beliau juga ikut berperang dalam memperjuangkan keutuhan
NKRI yang sudah berdaulat semenjak 17 Agustus 1945 M. Bersama dengan Kiai
Mahrus Aly dan para kiai lainnya yang dikomando dalam Resolusi Jihad 22 Oktober
1945 M, Mbah Moen ikut berjuang melawan penjajah yang ingin kembali merebut
kemerdekaan Indonesia dengan misi Agresi Militer Belanda I (21 Juli - 5 Agustus
1947 M) dan Agresi Militer Belanda II (19-20 Desember 1948 М).
Setelah kondisi Indonesia aman, pada 1949 M. Mbah Moen
meminta izin kepada Kiai Abdul Karim untuk meneruskan belajarnya menuju
Haramain. Dengan antusiasnya, Kiai Abdul Karim merestui keinginan Mbah Moen
tersebut. Maka, berangkatlah beliau menuju Haramain bersama dengan Kiai
Abdurrahim ibn Ahmad dengan biaya dari kakeknya, Kiai Ahmad ibn Syuaib.
Selama di Haramain, Mbah Moen belajar di Masjidil Haram dan Madrasah Dar al-Ulum yang merupakan madarasah rintisan ulama Jawiyyin (ulama Nusantara-Melayu di Haramain). Diantara gurunya selama belajar di Haramain adalah, Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh Muhammad Amin al-Kutbi, Syekh Abdul Qodir ibn Abdul Muthalib al-Mindili, Syekh Abdullah bin Nuh al-Kelantangi, Syekh Hasan al-Masysyath, Syekh Yasin al-Fadani, dan Kiai Masykuri Lasem (yang waktu itu menjadi mudir Dar al-Ulum sebelum al-Fadani). Kepada ulama-ulama Haramain ini, Mbah Moen mempelajari berbagai disiplin ilmu agama dengan penuh ketekunan sehingga menjadi ta'ammuq (mendalam). Karena tertarik dengan kealimannya, ada salah satu warga Saudi Arabia yang ingin menjadikan Mbah Moen sebagai menantunya. Namun, tawaran tersebut tidak diterima oleh beliau. Mbah Moen lebih suka kembali ke Indonesia dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya.
Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang
Pada tahun 1952 M, Mbah Moen kembali ke tanah airnya.
Setibanya di kampung halaman, beliau segera berkiprah di dunia pendidikan
pesantren, mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para santri, khususnya di Madrasah
Ghozaliyyah Syafi'iyah. Selain mengajar, beliau juga masih tetap menimba ilmu
kepada ayahnya dan beberapa ulama tanah air lainnya, seperti Kiai Baidlowi ibn
Abdul Aziz (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Mustofa (Leteh, Rembang), Kiai Abdul
Wahab ibn Hasbullah (Tambak Beras, Jombang), Kiai Abdul Wahib ibn K Abdul Wahab
(mantan Menteri Agama), Kiai Ma'shum Ahmad (Lasem, Rembang), Kiai Bisri
Syansuri (Denanyar, Jombang), Habib Abdullah ibn Abdul Qodir (Malang), dan
Habib Ali ibn Ahmad al-Athas.
Di samping tetap belajar memperdalam keilmuan, Mbah
Moen juga berkiprah dalam banyak bidang. Beliau pernah menjadi Onder Distrik
Militer (ODM) yang kini berubah menjadi Komando Rayon Militer (Koramil) di
kecamatan Sarang, pernah juga menjadi kepala Pasar, kepala Tempat Pelelangan
Ikan (TPI), anggota DPRD kabupaten Rembang, hingga anggotanya MPR RI utusan
Jawa Tengah. Tak heran jika sebagai
ulama, Mbah Moen sangat piawai berbaur dan merangkul masyarakat dari semua
kalangan.
Seiring waktu, semakin banyak santri yang ingin belajar kepada Mbah Moen. Pada tahun 1964 M, beliau membangun musholla di depan rumah sebagai tempat untuk mengajar para santri. Di sinilah cikal bakal Pondok Pesantren Al-Anwar berdiri. Animo masyarakat untuk berguru dan berkhidmat kepada beliau semakin besar. Oleh karenanya pada tahun 1967 M, beliau mendirikan sebuah kamar sederhana yang terletak di dekat musholla, ditujukan sebagai tempat menginap para santri agar mereka lebih fokus belajar. Oleh para santri, tempat tersebut diberi nama POHAMA yang merupakan singkatan dari 'Pondok Haji Maimoen'. Selang beberapa tahun kemudian, POHAMA dirubah namanya menjadi Pondok Pesantren Al-Anwar. Anwar merupakan nama Kiai Zubair sebelum berangkat menunaikan ibadah haji.
Kontribusi
Mbah Moen dalam Dunia Pendidikan
Dalam sebuah ceramahnya, Mbah Moen pernah dawuh,
"Alal âqili ayyakūna 'arifan
bizamânihî (bagi orang yang dianugerahi akal sehat, hendaknya bijak dalam
mensikapi zamannya)." Mbah Moen selalu mengajak santrinya agar tanggap
dengan perubahan zaman. Tidak beku dalam berpikir, kolot dan konservatif. la
sering memaknai ayat-ayat suci al-Qur'an sesuai dengan konteks zamannya. Untuk
memompa semangat santri-santrinya agar inovatif dan kreatif dalam mensikapi
perkembangan zaman, Mbah Moen mengarang kitab yang berjudul, al-Ulama
al-Mujaddidûn (Ulama Modernis). Pembaharuan yang diharapkan Mbah Moen dalam
kitab tersebut tidak seperti tajdid dan kelompok yang baru memahami segelintir
ilmu Islam sudah mengaku mujtahid dan mereka mengesampingkan madzhab empat.
Akan tetapi, Mbah Moen mengajak untuk menggunakan kaidah-kaidah yang dirumuskan
oleh madzhab empat yang kemudian disesuaikan dengan perkembangan zamannya.
Mbah Moen sering bertafakkur terhadap ayat-ayat suci
al-Qur'an yang kemudian dicocokkan dengan kejadian alam yang sedang terjadi.
Seperti halnya, ketika terjadi Stunami di Aceh, selang beberapa hari, Mbah Moen
mengunjungi tempat kejadian perkara. Tidak lama kemudian, beliau mengarang
kitab yang berjudul Tsunami fi Biladina
Indonesiyya Ahuwa 'Adzâbun am Mushibatun. Dalam kitab ini, Mbah Moen
mengkaitkan ayat-ayat al-Qur'an dengan kejadian alam berupa Stunami Aceh.
Selain karya di atas, Mbah Moen juga mempunyai karya
tulis yang berjudul;
- Risalah
Mauqufina haula al- Shaumi wal Ifthår,
- Maslaku
al-Tanassuk al-Makki fi al Ittıshalatı bi al-Sayyid Muhammad bin Alawi,
- Takmilatu al
Maslaku al-Tanassuk al-Makkı,
- Tarajim
Masyayikhi al- Ma'ahid al-Diniyyah bi Sarang al-Qudama',
- Taqriraratu
al- Jauharatu al-Tauhid,
- Taqriraratu
al-Bad'u al-Amâli,
- al Huyüdhu al-Rabbaniyyah,
- Manaqib Shahibu al-Hauli al Adhîmi fi Qaryati Sidan al-Sayyid Hamzah ibn Abdullah it Umar Syatha, dan lain-lain.
Ada
beberapa karya Mbah Moen yang belum terbukukan dengan baik, masih berupa makhtuthat atau ketikan yang tersimpan
dalam sebuah komputer.
Wafatnya Mbah Moen
Dalam beberapa kesempatan, Mbah Moen pernah bercerita
tentang leluhurnya yang kebanyakan wafat pada hari Selasa, seperti kedua orang
tuanya, Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah, kakeknya, Kiai Ahmad Syuaib, dan
beberapa leluhurnya yang lain. Menurut cerita Kiai Ahmad ibn Syuaib kepada Mbah
Moen, bukan hanya kiai-kiai Nusantara yang banyak wafat di hari Selasa, namun
banyak ulama Haramain yang wafat di hari tersebut. Pada hari Selasa, Allah
subhanahu wa ta'ala menciptakan gunung-gunung sebagai penyangga atau pencegah
gempa bumi, seperti halnya para ulama yang menjaga agama Allah. Melalui jasa
mereka kiamat tidak akan kunjung datang selagi masih ada orang yang menyembah
kepada Allah. Semua tidak dapat dilepaskan dari jasa para ulama yang merupakan
pewaris para Nabi.
Mbah Moen ingin sekali meniru jejak leluhurnya yang
kebanyakan wafat pada hari Selasa. Jika hari Selasa tiba, beliau mempunyai doa
khusus. Seandainya Allah memanggil, maka beliau ingin meninggal dalam keadaan
husnul khatimah yang menjadi harapan satu-satunya. Selain itu, beliau juga
ingin wafat bersandingan dengan guru-gurunya yang kebanyakan dimakamkan di
Ma'la, seperti Sayyid Alawi al-Maliki, Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Syaikh
Yasin ibn Isa al- Fadani, Syekh Muhammad Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin
al-Kutbi, dan Syekh Abdul Qadir ibn Abdul Muthalib al-Mindili. Di pemakaman
Ma'la pula, telah disemayamkan jasad wanita paling mulia, Ummul Mukminin,
Sayyidah Khadijah al-Kubra, serta banyak ulama Nusantara yang menjadi pengajar
di Masjidil Haram seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Termasi,
Syekh Muhaimin al-Lasemi, Sayyid Muhsin al-Musawa, dan Syekh Abdullah
al-Termasi yang disemayamkan di sana.
Harapan Mbah Moen dikabulkan Allah subhanahu wa
ta'ala. Saat menunaikan haji untuk yang ke sekian kalinya, Allah telah
memanggil kekasih-Nya tersebut sesuai dengan cita-citanya. Wafat di hari Selasa
dan dimakamkan di Ma'la yang bersanding dengan orang- orang yang sangat
dihormatinya. Mbah Moen kembali ke Rahmatullah pada hari Selasa Pon tanggal 5
Dzulhijjah 1440 H yang bertepatan dengan 6 Agustus 2019 М. Sebelum disemayamkan
di Ma'la, jenazahnya dishalatkan dalam beberapa gelombang, yang puncaknya
dishalatkan di Masjidil Haram dengan dihadiri ribuan manusia dari penjuru
dunia. Semoga kita semua dikumpulkan bersama dengan Mbah Moen kelak di
surga-Nya. Amin yâ Rabbal 'Alamin.
Baca juga 👉http://bit.ly/BiografiQuraishShihab
[1] Ulum, Amirul. KH. Maimoen Zubair Membuka Cakrawala Keilmuan,
[2] Yasin Maimoen, Taj. 'Dari ODM, Kepala Pasar, hingga Pesantren', dalam buku Belajar Kehidupan dari Mbah Moen. Cet. 1. (Suara Merdeka, 2019).
[3] Ulum, Amirul.
Syaikhuna wa Usrotuhu. Cet. 2. (Rembang : Lembaga Pendidikan Muhadloroh PP. Al-Anwar, 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar