Senin, 29 April 2024

KH. Maimoen Zubair

 


          Mbah Moen

KH. Maimoen Zubair atau lebih familiar dengan sebutan Mbah Moen dilahirkan di Sarang pada 28 Oktober 1928 M/14 Jumadil Awal 1347 H. Beliau putra pertama dari lima bersaudara dari pasangan Kiai  Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Saudara-saudarinya yaitu, Makmur, Mardiyah, Hasyim, dan Zahro. Semua anak pasangan Kiai Zubair dan Nyai Mahmudah meninggal dunia kecuali Mbah Moen.

Hidup di lingkungan pesantren mengharuskan Mbah Moen untuk mengaji. Meskipun ayahnya, Kiai Zubair bukanlah pengasuh pesantren, namun beliau aktif mengajar di pesantren milik mertuanya, Kiai Ahmad ibn Syuaib. Kepada sang ayah, Mbah Moen mengaji berbagai disiplin ilmu agama seperti al-Fiyah, Fathal Wahhab, Fathal Mu'in, dan Jauharatu al-Tauhid. Untuk masalah bacaan al-Qur'an-nya, Mbah Moen belajar kepada ibunya, Nyai Mahmudah. Selain kepada kedua orang tuanya, Mbah Moen belajar kepada ulama-ulama Sarang seperti Kiai Syuaib ibn Abdurrozak, Kiai Ahmad ibn Syuaib, dan Kiai Imam Khalil.

Dalam mendidik Mbah Moen, Kiai Zubair tidak hanya mengajarkan ilmu agama, akan tetapi ilmu umum pun juga diajarkan. Terlebih ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan nasionalisme dan patriotisme. Sebab, pada waktu itu, Indonesia sedang dalam kondisi dijajah Belanda, Jepang, dan dilanjutkan dengan kembalinya Belanda yang membonceng NICA (Netherland Indies Civil Administration).  Kiai Zubair sendiri merupakan ulama yang tergabung dalam Laskar Hisbullah, yang menggerakkan pasukan di sepanjang Sarang, Lasem, dan Tuban. Kiai Zubair memiliki 100 orang pasukan yang siap digerakkan kapan saja untuk mengusir penjajah. Dididik oleh ayah seorang ulama pejuang, tidak heran jika Mbah Moen memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi.

Pada tahun 1945 M, Kiai Zubair mengutus Mbah Moen untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo asuhan Kiai Abdul Karim. Waktu itu, Mbah Moen berusia 17 tahun, masa pemuda dalam semangat belajar dan berjuang melawan penjajah. Selain belajar kepada Kiai Abdul Karim, Mbah Moen juga belajar kepada Kiai Mahrus Aly, Kiai Marzuki, (keduanya adalah menantu andalan Kiai Abdul Karim) dan Kiai Ma'ruf Kedunglo.

Selama nyantri di Pesantren Lirboyo, Mbah Moen tidak hanya mengaji. Namun, beliau juga ikut berperang dalam memperjuangkan keutuhan NKRI yang sudah berdaulat semenjak 17 Agustus 1945 M. Bersama dengan Kiai Mahrus Aly dan para kiai lainnya yang dikomando dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 M, Mbah Moen ikut berjuang melawan penjajah yang ingin kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan misi Agresi Militer Belanda I (21 Juli - 5 Agustus 1947 M) dan Agresi Militer Belanda II (19-20 Desember 1948 М).

Setelah kondisi Indonesia aman, pada 1949 M. Mbah Moen meminta izin kepada Kiai Abdul Karim untuk meneruskan belajarnya menuju Haramain. Dengan antusiasnya, Kiai Abdul Karim merestui keinginan Mbah Moen tersebut. Maka, berangkatlah beliau menuju Haramain bersama dengan Kiai Abdurrahim ibn Ahmad dengan biaya dari kakeknya, Kiai Ahmad ibn Syuaib.

Selama di Haramain, Mbah Moen belajar di Masjidil Haram dan Madrasah Dar al-Ulum yang merupakan madarasah rintisan ulama Jawiyyin (ulama Nusantara-Melayu di Haramain). Diantara gurunya selama belajar di Haramain adalah, Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh Muhammad Amin al-Kutbi, Syekh Abdul Qodir ibn Abdul Muthalib al-Mindili, Syekh Abdullah bin Nuh al-Kelantangi, Syekh Hasan al-Masysyath, Syekh Yasin al-Fadani, dan Kiai Masykuri Lasem (yang waktu itu menjadi mudir Dar al-Ulum sebelum al-Fadani). Kepada ulama-ulama Haramain ini, Mbah Moen mempelajari berbagai disiplin ilmu agama dengan penuh ketekunan sehingga menjadi ta'ammuq (mendalam). Karena tertarik dengan kealimannya, ada salah satu warga Saudi Arabia yang ingin menjadikan Mbah Moen sebagai menantunya. Namun, tawaran tersebut tidak diterima oleh beliau. Mbah Moen lebih suka kembali ke Indonesia dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya.

Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang

Pada tahun 1952 M, Mbah Moen kembali ke tanah airnya. Setibanya di kampung halaman, beliau segera berkiprah di dunia pendidikan pesantren, mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para santri, khususnya di Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyah. Selain mengajar, beliau juga masih tetap menimba ilmu kepada ayahnya dan beberapa ulama tanah air lainnya, seperti Kiai Baidlowi ibn Abdul Aziz (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Mustofa (Leteh, Rembang), Kiai Abdul Wahab ibn Hasbullah (Tambak Beras, Jombang), Kiai Abdul Wahib ibn K Abdul Wahab (mantan Menteri Agama), Kiai Ma'shum Ahmad (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), Habib Abdullah ibn Abdul Qodir (Malang), dan Habib Ali ibn Ahmad al-Athas.

Di samping tetap belajar memperdalam keilmuan, Mbah Moen juga berkiprah dalam banyak bidang. Beliau pernah menjadi Onder Distrik Militer (ODM) yang kini berubah menjadi Komando Rayon Militer (Koramil) di kecamatan Sarang, pernah juga menjadi kepala Pasar, kepala Tempat Pelelangan Ikan (TPI), anggota DPRD kabupaten Rembang, hingga anggotanya MPR RI utusan Jawa Tengah. Tak heran jika sebagai ulama, Mbah Moen sangat piawai berbaur dan merangkul masyarakat dari semua kalangan.

Seiring waktu, semakin banyak santri yang ingin belajar kepada Mbah Moen. Pada tahun 1964 M, beliau membangun musholla di depan rumah sebagai tempat untuk mengajar para santri. Di sinilah cikal bakal Pondok Pesantren Al-Anwar berdiri. Animo masyarakat untuk berguru dan berkhidmat kepada beliau semakin besar. Oleh karenanya pada tahun 1967 M, beliau mendirikan sebuah kamar sederhana yang terletak di dekat musholla, ditujukan sebagai tempat menginap para santri agar mereka lebih fokus belajar. Oleh para santri, tempat tersebut diberi nama POHAMA yang merupakan singkatan dari 'Pondok Haji Maimoen'. Selang beberapa tahun kemudian, POHAMA dirubah namanya menjadi Pondok Pesantren Al-Anwar. Anwar merupakan nama Kiai Zubair sebelum berangkat menunaikan ibadah haji.

Kontribusi Mbah Moen dalam Dunia Pendidikan

Dalam sebuah ceramahnya, Mbah Moen pernah dawuh, "Alal âqili ayyakūna 'arifan bizamânihî (bagi orang yang dianugerahi akal sehat, hendaknya bijak dalam mensikapi zamannya)." Mbah Moen selalu mengajak santrinya agar tanggap dengan perubahan zaman. Tidak beku dalam berpikir, kolot dan konservatif. la sering memaknai ayat-ayat suci al-Qur'an sesuai dengan konteks zamannya. Untuk memompa semangat santri-santrinya agar inovatif dan kreatif dalam mensikapi perkembangan zaman, Mbah Moen mengarang kitab yang berjudul, al-Ulama al-Mujaddidûn (Ulama Modernis). Pembaharuan yang diharapkan Mbah Moen dalam kitab tersebut tidak seperti tajdid dan kelompok yang baru memahami segelintir ilmu Islam sudah mengaku mujtahid dan mereka mengesampingkan madzhab empat. Akan tetapi, Mbah Moen mengajak untuk menggunakan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh madzhab empat yang kemudian disesuaikan dengan perkembangan zamannya.

Mbah Moen sering bertafakkur terhadap ayat-ayat suci al-Qur'an yang kemudian dicocokkan dengan kejadian alam yang sedang terjadi. Seperti halnya, ketika terjadi Stunami di Aceh, selang beberapa hari, Mbah Moen mengunjungi tempat kejadian perkara. Tidak lama kemudian, beliau mengarang kitab yang berjudul Tsunami fi Biladina Indonesiyya Ahuwa 'Adzâbun am Mushibatun. Dalam kitab ini, Mbah Moen mengkaitkan ayat-ayat al-Qur'an dengan kejadian alam berupa Stunami Aceh.

Selain karya di atas, Mbah Moen juga mempunyai karya tulis yang berjudul;

-     Risalah Mauqufina haula al- Shaumi wal Ifthår,

-     Maslaku al-Tanassuk al-Makki fi al Ittıshalatı bi al-Sayyid Muhammad bin Alawi,

-     Takmilatu al Maslaku al-Tanassuk al-Makkı,

-     Tarajim Masyayikhi al- Ma'ahid al-Diniyyah bi Sarang al-Qudama',

-     Taqriraratu al- Jauharatu al-Tauhid,

-     Taqriraratu al-Bad'u al-Amâli,

-     al Huyüdhu al-Rabbaniyyah,

-     Manaqib Shahibu al-Hauli al Adhîmi fi Qaryati Sidan al-Sayyid Hamzah ibn Abdullah it Umar Syatha, dan lain-lain.

Ada beberapa karya Mbah Moen yang belum terbukukan dengan baik, masih berupa makhtuthat atau ketikan yang tersimpan dalam sebuah komputer.

Wafatnya Mbah Moen

Dalam beberapa kesempatan, Mbah Moen pernah bercerita tentang leluhurnya yang kebanyakan wafat pada hari Selasa, seperti kedua orang tuanya, Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah, kakeknya, Kiai Ahmad Syuaib, dan beberapa leluhurnya yang lain. Menurut cerita Kiai Ahmad ibn Syuaib kepada Mbah Moen, bukan hanya kiai-kiai Nusantara yang banyak wafat di hari Selasa, namun banyak ulama Haramain yang wafat di hari tersebut. Pada hari Selasa, Allah subhanahu wa ta'ala menciptakan gunung-gunung sebagai penyangga atau pencegah gempa bumi, seperti halnya para ulama yang menjaga agama Allah. Melalui jasa mereka kiamat tidak akan kunjung datang selagi masih ada orang yang menyembah kepada Allah. Semua tidak dapat dilepaskan dari jasa para ulama yang merupakan pewaris para Nabi.

Mbah Moen ingin sekali meniru jejak leluhurnya yang kebanyakan wafat pada hari Selasa. Jika hari Selasa tiba, beliau mempunyai doa khusus. Seandainya Allah memanggil, maka beliau ingin meninggal dalam keadaan husnul khatimah yang menjadi harapan satu-satunya. Selain itu, beliau juga ingin wafat bersandingan dengan guru-gurunya yang kebanyakan dimakamkan di Ma'la, seperti Sayyid Alawi al-Maliki, Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Syaikh Yasin ibn Isa al- Fadani, Syekh Muhammad Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Kutbi, dan Syekh Abdul Qadir ibn Abdul Muthalib al-Mindili. Di pemakaman Ma'la pula, telah disemayamkan jasad wanita paling mulia, Ummul Mukminin, Sayyidah Khadijah al-Kubra, serta banyak ulama Nusantara yang menjadi pengajar di Masjidil Haram seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Termasi, Syekh Muhaimin al-Lasemi, Sayyid Muhsin al-Musawa, dan Syekh Abdullah al-Termasi yang disemayamkan di sana.

Harapan Mbah Moen dikabulkan Allah subhanahu wa ta'ala. Saat menunaikan haji untuk yang ke sekian kalinya, Allah telah memanggil kekasih-Nya tersebut sesuai dengan cita-citanya. Wafat di hari Selasa dan dimakamkan di Ma'la yang bersanding dengan orang- orang yang sangat dihormatinya. Mbah Moen kembali ke Rahmatullah pada hari Selasa Pon tanggal 5 Dzulhijjah 1440 H yang bertepatan dengan 6 Agustus 2019 М. Sebelum disemayamkan di Ma'la, jenazahnya dishalatkan dalam beberapa gelombang, yang puncaknya dishalatkan di Masjidil Haram dengan dihadiri ribuan manusia dari penjuru dunia. Semoga kita semua dikumpulkan bersama dengan Mbah Moen kelak di surga-Nya. Amin yâ Rabbal 'Alamin.


Baca juga 👉http://bit.ly/BiografiQuraishShihab

____________________________
Referensi :

[1] Ulum, Amirul.  KH. Maimoen Zubair Membuka Cakrawala Keilmuan

[2] Yasin Maimoen, Taj. 'Dari ODM, Kepala Pasar, hingga Pesantren', dalam buku Belajar Kehidupan dari Mbah Moen. Cet. 1. (Suara Merdeka, 2019).

[3] Ulum, Amirul. Syaikhuna wa Usrotuhu. Cet. 2. (Rembang : Lembaga Pendidikan Muhadloroh PP. Al-Anwar, 2014).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar